Ini sebenarnya cerita yang harus saya tulis bulan Agustus tahun lalu. Bagaimana pada suatu malam, seorang Idik Sulaeman hadir di depan 40 anggota Paskibraka DKI Jakarta 2008. Dengan tongkat dan tertatih-tatih, lelaki berusia 75 tahun itu masih bersedia hadir sebagai ikon Paskibraka atas undangan adik-adiknya, Paskibraka DKI Jakarta, pada saat forum latihan Paskibraka Nasional di Cibubur tak lagi mengundang dirinya.
Saat itu Kak Idik datang sendirian, tanpa pendamping, kecuali ditemani beberapa Pengurus PPI DKI Jakarta. Untung saja, dan biasanya selalu begitu, Kak Idik mengajak kami (saya Syaiful “Opul” Azram dan Budiharjo “Muztbhe” Winarno) untuk ikut. Kami datang? Tak mungkin tidak. Bagaimana bisa kami membiarkan seorang Idik --yang sudah kehilangan sebagian motoriknya akibat stroke beberapa tahun lalu dan agak sulit menyampaikan pikirannya kepada orang lain-- untuk menjelaskan soal Paskibraka dan menjawab pertanyaan seorang diri.
Dan benar saja, akhirnya kami berdua harus turun tangan (walaupun sebenarnya tak mengharapkan). Kak Idik hanya menjelaskan sepatah dua kata, sisanya kami yang meneruskan. Berbagai macam pertanyaan harus dijawab, maklum adik-adik Paskibraka DKI 2008 kan ingin tahu “makhluk” apa sebenarnya Paskibraka itu, dari A sampai Z.
Mulanya, tanggapan mereka datar-datar saja ketika sejarah Paskibraka dipaparkan. Mungkin, mereka sudah pernah membaca dari sumber mana saja, buku atau wikipedia. Tapi, mereka harus ternganga tak menduga, ketika diberitahukan bahwa selain menciptakan nama PASKIBRAKA dan mengusulkannya kepada Kak Husein Mutahar, Kak Idik adalah orang yang merancang semua atribut Paskibraka: mulai dari Seragam, lambang korps, lambang anggota, dan tanda pengukuhan seperti lencana merah-putih-garuda (MPG) dan kendit kecakapan.
Decak kagum dan tepuk tangan pun menggema, ketika dijelaskan bahwa orang yang ada di hadapan mereka itu jugalah yang merancang seragam sekolah dan atributnya: putih-merah untuk SD, putih-biru untuk SMP dan putih-abu2 untuk SMA, plus badge OSIS-nya.
Apa reaksi Kak Idik mendapatkan aplaus seperti itu? “Iya benar. Saya yang merancang semua itu. Tapi tidak dibayar…” ucapnya pendek. Dan, ucapan itu kembali disambut dengan tepuk tangan…
Apa inti dari cerita saya di atas?
Saya ingin membuka pikiran kita semua, Purna Paskibraka, bahwa para penggagas dan pencetus Paskibraka adalah orang-orang yang hebat. Mereka mempunyai pemikiran yang cerdas, matang dan melanglang jauh ke depan. Namun, di balik itu semua, mereka juga selalu bekerja dengan keras, ulet, dan… tanpa pamrih !!
Husein Mutahar menggagas Paskibraka dan berhasil menciptakan latihan mental-spiritual “Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila” yang demikian komplit. Idik Sulaeman menggenapi apa yang dilakukan “kakaknya” dengan menyempurnakan silabus, sistem dan metode pelatihan… plus seragam dan atribut Paskibraka.
Bayangkan kalau paket latihan yang penuh nuansa dan kebanggaan ini dapat dikembangkan secara profesional menjadi pelatihan semacam “ESQ Leadership Training” ala Ary Ginanjar Agustian. Pelatihan Paskibraka akan menjadi lebih dahsyat dan menghasilkan alumni yang jauh lebih hebat !!
Kalaulah pelatihan “Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila” dipatenkan menjadi sebuah pelatihan kepemimpinan yang profesional, berapa “income” yang bisa diperoleh seorang Husein Mutahar. Berapa banyak pelatihan Paskibraka yang dilaksanakan setiap tahun di seluruh Indonesia yang bisa memberikan royalti? Husein Mutahar bergelimang uang…
Kalaulah Idik Sulaeman mendaftarkan seluruh rancangannya ke Direktorat Hak Cipta, bayangkan royalti yang bisa diperolehnya dari setiap potong seragam Paskibraka. Berapa banyak pula hasil dari royalti pembuatan pakaian seragam sekolah dan atributnya. Kak Idik kaya raya…
Mestinya, seluruh Purna Paskibraka menyadari ini semua… Bahwa Husein Mutahar dan Idik Sulaeman sesungguhnya telah mewariskan sebuah memorabilia yang tak ternilai harganya.
Kalaulah Kak Mutahar masih ada, saya ingin mengungkapkan hal ini padanya sekarang. Kalau Kak Idik tidak memiliki keterbatasan di usianya yang lanjut, pasti akan saya ajak “kembali” untuk menata Paskibraka. Sayang, dua-duanya tidak lagi bisa saya lakukan. Yang bisa saya kerjakan hanyalah menuliskannya dalam kata-kata…
Sebenarnya, saya lelah mendengar cerita miring soal Paskibraka, soal pelatihannya yang kian hari kian jauh dari tujuan semula. Saya juga capek melihat aktivitas Purna Paskibraka yang hanya berkutat pada masalah-masalah sepele, debat kusir tanpa ujung-pangkal, atau rebutan kursi kepengurusan yang umurnya cuma empat atau lima tahun.
Padahal, kita semua melupakan satu hal yang paling esensial: bagaimana menjaga sejarah dan warisan Paskibraka yang nilainya tak terhingga. Lalu, mengelolanya menjadi sebuah aset yang dapat dikembangkan untuk kesinambungan pembinaan seluruh Purna. Tanpa bantuan orang lain, tanpa tergantung pada siapa pun.
Impian itu selalu datang dalam tidur saya… Tapi, yang saya temui adalah hari-hari yang sama keesokan harinya…
Ditulis oleh: Syaiful Azram, Paskibraka 1978