Tuesday, November 16, 2010

In Memoriam Yadi Mulyadi, Lurah Paskibraka 1978


      Sabtu sore, sekitar satu minggu setelah lebaran tahun 1994. Saya sedang memacu mobil di jalan tol Jakarta-Merak untuk berlibur dengan keluarga di pinggir pantai di Labuan, Banten. Menjelang pintu tol Tangerang, tiba-tiba mobil bergetar. Dan ternyata…. join-kopel mobil tua saya tak kuasa melayani putaran yang tinggi, sehingga hampir terlepas. Tertatih-tatih, merayap, mobil saya berusaha keluar melewati Gerbang Tol Tangerang. Yang saya ingat hanya satu: teman saya Yadi Mulyadi adalah wakil kepala gerbang tol itu!

Begitu melewati gerbang, saya pun menuju kantor Jasa Marga dan parkir di sana. Di resepsionis saya minta disambungkan dengan Yadi, dan begitu ketemu saya ceritakan kejadiannya. “Ya sudah, tunggu sebentar saya mau beres-beres berkas, jam 4 saya keluar kantor,” katanya. Saya beserta istri dan anak-anak pun menunggu di lobi kantor.

Begitu Yadi keluar dari kantor, istri dan anak-anak diajaknya naik ke mobil dinas yang disetirnya sendiri, lalu membimbing saya menuju bengkel langganannya. Di bengkel itu mobil saya dititipkan untuk diperbaiki, lalu kami ikut dengannya menuju rumahnya di Serang, bersama beberapa teman kantor yang juga akan pulang. “Santai aja Pul, kita mampir dulu di rumah gua,” katanya bergaya Betawi tapi berlogat Sunda.

Begitulah, untuk pertama kalinya saya –tak sengaja—berkunjung ke rumah Yadi di Kaligandu, Serang, dan bertemu lagi dengan keluarganya. (Delapan tahun sebelumnya, tahun 1986, saya pernah berkunjung ke rumah dinasnya, sewaktu ia menjadi wakil kepala gerbang tol Tanjung Morawa, Medan. Waktu itu, saya masih kuliah di Medan, sedang Yadi sudah bekerja di Jasa Marga).

Sore itu juga, saya dan keluarga dipinjami mobil Kijang pribadinya untuk pergi ke Labuan. Sehabis mandi, ia malah mengajak istrinya untuk ikut memandu kami dengan mobil dinasnya menuju Labuan. Ikut “barbeque” dengan kami dan keluarga teman lain yang lebih dulu sampai di sana, dan baru pamitan malam harinya. “Silakan teruskan pestanya, saya harus pulang karena besok pagi mau ngajak anak saya jalan-jalan, sambil mancing...” katanya.

Esok sorenya, pulang dari Labuan kami mampir lagi ke Serang, menjemput Yadi yang masih akan mengantar kami ke Tangerang. Begitu memastikan mobil saya sudah diperbaiki dan bisa dipakai untuk pulang ke Depok, barulah kami berpisah. Tiada kata selain “terima kasih” yang bisa saya ucapkan, karena bantuannya yang begitu besar. Terutama, kepedulian “mengurusi sahabat tanpa pamrih” dan merelakan waktu yang kadang teramat mahal bagi orang-orang kota yang sibuk.

***

Hari ini, Senin 16 November 2010, 16 tahun setelah itu, saya harus datang lagi ke Serang. Sayangnya, kedatangan saya tak lagi bisa digunakan untuk saling melepas kangen dan bercandaria. Bersama ratusan orang lainnya, saya harus mengantarkan Yadi ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Pemakaman Umum Kaligandu. Sebuah kecelakaan lalu lintas telah merenggut Yadi dari keluarganya, dari koleganya di Jasa Marga dan dari keluarga besar Paskibraka 78.

Saya masih ingat, ketika bertemu Yadi dalam Reuni Paskibraka 78 dan Reuni Paskibraka Nasional bulan Agustus 2008. Tubuh tinggi besarnya masih terlihat gagah, apalagi dia memang gemar menggunakan atribut-atribut bernuansa nasionalisme: terutama peci hitam berhias Garuda Pancasila. Tanggal 17 Agustus, dia tiba di Istana Merdeka belakangan, karena harus menjadi Komandan Upacara di Kantor Pusat Jasa Marga. 

Dalam Reuni Paskibraka Nasional, Yadi juga masih menjadi “Lurah Putra” yang paling tangguh. Bersama “Lurah Putri” Chelly Urai, Ia mampu memimpin 21 orang warga Paskibraka 78 menjadi begitu dominan di tengah angkatan lain dengan yel-yel penuh semangat. Tak pernah terbersit dalam pikiran saya, juga teman-teman 78, kalau “kakek” yang baru saja mendapat cucu laki-laki ini akan pergi lebih dulu.

Menurut informasi dari keluarga, peristiwa kecelakaan terjadi seusai Yadi dan kawan-kawannya melakukan touring dengan motor Bajaj Pulsar ke Sukabumi. Dalam tur itu, Yadi berboncengan dengan istrinya. Perjalanan klub motor itu sebenarnya aman-aman saja mulai dari pergi sampai pulang dan pesertanya membubarkan diri.

Sebelum pulang, bersama beberapa teman tersisa, Yadi singgah di sebuah rumah makan di Ujung Genteng, sekalian shalat Maghrib. Bubar dari restoran itu, istri Yadi ikut dengan mobil, sementara Yadi sendiri kembali naik motor. Malang tak dapat ditolak, begitu motor Yadi keluar ke jalan raya, sebuah mobil menabraknya. Tabrakan yang sangat keras itu seketika merenggut nyawanya.

Sama dengan keluarga yang merasa kepergian Yadi seperti mimpi, saya dan teman-teman Paskibraka 78 merasakan kekagetan yang luar biasa. Berenam (saya, Budi Winarno, Sonny, Chelly, Tetty dan Ilham), hanya bisa tercenung di depan makam dengan nisan bertuliskan nama Yadi Mulyadi. Onggokan tanah merah yang baru saja diuruk dengan taburan bunga di atasnya. Desir angin menggerakkan daun-daun bambu, dan gesekannya melahirkan suara desis yang mengiris. 

Di bawah rerimbunan bambu itulah kini raga Yadi bersemayam, sementara arwahnya telah kembali menemui Al-Khalik dengan segala kebaikan dan amal yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia. Namun, jiwanya masih tetap ada di hati saya, dan abadi di hati kita semua yang pernah mengenalnya.

Selamat jalan sahabat...  Doa kami selalu, semoga engkau tenang di alam sana....

No comments:

Post a Comment