Wednesday, December 7, 2011

In Memoriam Sinyo Mokodompit

Selama 33 tahun, memang tak banyak kenangan yang bisa aku catat dari seorang Sinyo Mokodompit. Maklum, kalau tak salah, sama dengan teman-teman yang lain, tak satu pun yang pernah bertemu muka dengannya setelah usai Latihan Paskibraka Nasional 1978. Beberapa di antaranya pernah berkomunikasi lewat telepon atau SMS, atau sekadar chatting dan bertukar komentar lewat Facebook. Sampai tiba-tiba, Senin 5 Desember 2011, anak sulung Sinyo, Inez, mengirim kabar bahwa ayahnya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa pada hari itu pukul 08.40 WIB. Inna lillahi wainna ilaihi raajiuun...

Kekagetanku tentu saja wajar, apalagi 10 hari kemudian ia baru saja akan memperingati ulangtahun yang ke 52. Sebuah usia yang — katakanlah — masih belum cukup tua untuk meninggalkan dunia. Sebuah usia yang biasanya menjadi puncak kehidupan seorang manusia. Tapi, kuasa Ilahi mengatakan lain, karena mungkin menganggap lebih baik Sinyo dipanggil sekarang. Wallahu a’lam, semoga arwahnya diterima di sisi Allah dengan tenang dan tenteram.

Sejak 1991, Paskibraka78 memang telah melacak kembali seluruh anggotanya dengan berbagai cara. Salah satunya, menerbitkan buletin lalu mengirimkannya ke alamat “dahulu kala”. Dari upaya itu, pada Reuni Pertama 1994, telah berhasil ditemukan 30 orang lebih dan 21 di antaranya telah datang, berkumpul kembali di Jakarta. Tapi tidak termasuk Sinyo. Aku pun tak tahu, di mana dia saat itu.

Sinyo baru “tertangkap” lagi sebagai warga Paskibraka78 yang tadinya hilang pada tahun 2007, ketika 23 Juli 2007 pukul 10.40 WIB, HP-ku berdering. Suaranya yang besar menggelegar serta merta membuatku segera mengenalinya. ”Masih ingat kan? Di sebelah kanan ada Gde, di kiri ada kamu, yang di tengah siapa?” tanyanya sambil cuap-cuap soal posisi kami di Kelompok 8.

“Limapuluh empat orang aku masih hafal posisinya dalam formasi, Bung. Mana mungkin orang lain, ya si Sinyo jelek itulah,” jawabku untuk membuatnya senang.


Sinyo memang memilih aku untuk dihubunginya pertama kali, mengingat kedekatan kami di dalam pasukan. Dia khawatir kalau-kalau teman yang lain lupa padanya. Padahal, siapa tidak bakal bisa lupa pada teman seangkatannya dalam Latihan Paskibraka.

Begitulah, pagi itu ia melaporkan melaporkan keberadaan dirinya selama 29 tahun tidak berkomunikasi (dia mengaku tidak hilang). Dulu sekali, tahun 1993, ia mengaku pernah menerima buletin, tapi dia belum sempat membalas dengan surat, atau telepon. “Begitulah, Pul. Memang ada waktunya kita tidak bisa menjawab ketika disapa teman,” katanya membuat aku penuh tanda tanya.

Ketika beberapa waktu kemudian Sinyo mengirimkan surat berisi berlembar-lembar tulisan dan biodata, aku baru tahu berada di mana ia saat teman-teman 78 reuni. Alkisah, ia melanjutkan kuliahnya di Makassar seusai SMA. Setelah tamat, ia kembali ke kotanya, Toli-toli, dan menjadi pengacara. ”T api cuma lawyer di kota kecil, jadi bukan orang kaya,” katanya tergelak.

Dan, dalam biodata terkuak bahwa ketika teman-teman Paskibraka78 lain sibuk saling melacak, Sinyo justru sibuk melacak “pekerjaan” alias “job hunter” sebelum akhirnya benar-benar menjadi pengacara pada tahun 1993.

Sinyo lalu bilang, di tahun 2000-an ia pernah (bukan sering) beberapa kali ke Jakarta untuk urusan pekerjaan, tapi tidak tahu akan mencari siapa temannya yang bisa dihubungi. Barangkali dia lupa kalau saat itu masih ada PGM yang bisa ditanyai soal keberadaan teman-temannya, karena sejak 1990, beberapa Purna Paskibraka 78 sudah mulai “bergerak” di Jakarta. Setelah memutuskan telepon denganku, hari itu ia pun mulai mengabsen teman-teman lain: Tatiana, Budihardjo, Sonny, Chelly, Saras, dst, dst.

Semenjak itu, komunikasi dengan Sinyo terus berlangsung, sebagaimana juga antar teman-teman 78 lain yang sudah diketahui alamatnya, atau nomor telepon, HP, dan account Facebook-nya. Terakhir, ketika Paskibraka78 akan mengadakan Reuni ke-4 di Yogyakarta (25-27 November 2011), ia masih dihubungi untuk diajak ikut berkumpul.

Saras, yang paling getol menghubunginya mengaku terkejut, ketika di-SMS untuk menyaksikan siaran Trans TV —yang kebetulan sekilas menampilkan Reuni Paskibraka 78— yang menjawab SMS justru anaknya, Inez, yang menyebutkan ayahnya sudah tiada.

Terlihat begitu gagah dalam album foto-fotonya di Facebook, Sinyo diketahui mengalami gagal ginjal sejak bulan Maret 2011. Manurut Saras, sejak itu ia sering masuk-keluar rumah sakit. Dan terakhir, masuk rumah sakit lagi selama satu bulan dan tidak keluar lagi sampai meninggal dunia.

Dalam catatan karirnya, selain sebagai pengacara, Sinyo juga menjadi Dosen (sejak 1999), bahkan Pembantu Rektor di Universitas Madako Toli-toli. Dalam kiprahnya di bidang hukum, ia pun tercatat sebagai staf ahli di DPRD Kabupaten Toli-toli (sejak 2001), dan konsultan hukum Setda Kab. Toli-toli (sejak 2005).

Dalam kegiatan organisasi, ia pernah menjadi Pengurus PMII Cab. Makasar (1980-1989), Pengurus PDI Makasar (1982-1990), Pengurus PDI Toli-toli (1991-1996), Ketua Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Cabang Toli-toli (1992-2007), dan Sekretaris DPC Partai Demokrat Toli-toli (sejak 2006-2011).


BIODATA

Nama : Sinyo Mokodompit, SH, MH

Lahir : Belang (Minahasa), 15 Desember 1959

Agama: Islam

Rumah: Jl. Magamu 99A Toli-toli 94514, Telp. 0453-23090, HP. 081354476567 - 085241176666.

Pakerjaan/Jabatan : Advokat-Kons. Hukum/Dosen

Kantor : LBH Univ. Madako, Jl. Madako No. 1 Toli-toli. Telp. 0453-21582


Nama Istri : Ceska Olga Wattie/Fitrah (24-09-66)

Nama Anak:

1. Bungai Ghina Inayatillah (24-07-89)

2. Nakinta Mentari Istiqomah (06-12-1993)

3. Kibar Jati Merdeka Hidayatullah (26-12-1995)


Pendidikan : SD II Kotamobagu Sulut (1972), SMPN 1 Kotamobagu (1975), SMAN 1 Toli-toli (1980), FH Tata Negara Unhas (1989), PASCASARJANA : Hukum TATANEGARA - Universitas Hasanuddin (2009)

Pekerjaan: Job Hunter (1989-1992), Advokat (1993-2011), Dosen Univ. Madako (1999-2011), Staf Ahli DPRD Kab. Toli-toli (2001-2011), Konsultan Hukum Setda Kab. Toli-toli (2005-2011).

Organisasi: Pengurus PMII Cab. Makasar (1980-1989), Pengurus PDI Makasar (1982-1990), Pengurus PDI Toli-toli (1991-1996), Ketua Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Cabang Toli-toli (1992-2011), Sekretaris DPC Partai Demokrat Toli-toli (2006-2011).

Tuesday, November 16, 2010

In Memoriam Yadi Mulyadi, Lurah Paskibraka 1978


      Sabtu sore, sekitar satu minggu setelah lebaran tahun 1994. Saya sedang memacu mobil di jalan tol Jakarta-Merak untuk berlibur dengan keluarga di pinggir pantai di Labuan, Banten. Menjelang pintu tol Tangerang, tiba-tiba mobil bergetar. Dan ternyata…. join-kopel mobil tua saya tak kuasa melayani putaran yang tinggi, sehingga hampir terlepas. Tertatih-tatih, merayap, mobil saya berusaha keluar melewati Gerbang Tol Tangerang. Yang saya ingat hanya satu: teman saya Yadi Mulyadi adalah wakil kepala gerbang tol itu!

Begitu melewati gerbang, saya pun menuju kantor Jasa Marga dan parkir di sana. Di resepsionis saya minta disambungkan dengan Yadi, dan begitu ketemu saya ceritakan kejadiannya. “Ya sudah, tunggu sebentar saya mau beres-beres berkas, jam 4 saya keluar kantor,” katanya. Saya beserta istri dan anak-anak pun menunggu di lobi kantor.

Begitu Yadi keluar dari kantor, istri dan anak-anak diajaknya naik ke mobil dinas yang disetirnya sendiri, lalu membimbing saya menuju bengkel langganannya. Di bengkel itu mobil saya dititipkan untuk diperbaiki, lalu kami ikut dengannya menuju rumahnya di Serang, bersama beberapa teman kantor yang juga akan pulang. “Santai aja Pul, kita mampir dulu di rumah gua,” katanya bergaya Betawi tapi berlogat Sunda.

Begitulah, untuk pertama kalinya saya –tak sengaja—berkunjung ke rumah Yadi di Kaligandu, Serang, dan bertemu lagi dengan keluarganya. (Delapan tahun sebelumnya, tahun 1986, saya pernah berkunjung ke rumah dinasnya, sewaktu ia menjadi wakil kepala gerbang tol Tanjung Morawa, Medan. Waktu itu, saya masih kuliah di Medan, sedang Yadi sudah bekerja di Jasa Marga).

Sore itu juga, saya dan keluarga dipinjami mobil Kijang pribadinya untuk pergi ke Labuan. Sehabis mandi, ia malah mengajak istrinya untuk ikut memandu kami dengan mobil dinasnya menuju Labuan. Ikut “barbeque” dengan kami dan keluarga teman lain yang lebih dulu sampai di sana, dan baru pamitan malam harinya. “Silakan teruskan pestanya, saya harus pulang karena besok pagi mau ngajak anak saya jalan-jalan, sambil mancing...” katanya.

Esok sorenya, pulang dari Labuan kami mampir lagi ke Serang, menjemput Yadi yang masih akan mengantar kami ke Tangerang. Begitu memastikan mobil saya sudah diperbaiki dan bisa dipakai untuk pulang ke Depok, barulah kami berpisah. Tiada kata selain “terima kasih” yang bisa saya ucapkan, karena bantuannya yang begitu besar. Terutama, kepedulian “mengurusi sahabat tanpa pamrih” dan merelakan waktu yang kadang teramat mahal bagi orang-orang kota yang sibuk.

***

Hari ini, Senin 16 November 2010, 16 tahun setelah itu, saya harus datang lagi ke Serang. Sayangnya, kedatangan saya tak lagi bisa digunakan untuk saling melepas kangen dan bercandaria. Bersama ratusan orang lainnya, saya harus mengantarkan Yadi ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Pemakaman Umum Kaligandu. Sebuah kecelakaan lalu lintas telah merenggut Yadi dari keluarganya, dari koleganya di Jasa Marga dan dari keluarga besar Paskibraka 78.

Saya masih ingat, ketika bertemu Yadi dalam Reuni Paskibraka 78 dan Reuni Paskibraka Nasional bulan Agustus 2008. Tubuh tinggi besarnya masih terlihat gagah, apalagi dia memang gemar menggunakan atribut-atribut bernuansa nasionalisme: terutama peci hitam berhias Garuda Pancasila. Tanggal 17 Agustus, dia tiba di Istana Merdeka belakangan, karena harus menjadi Komandan Upacara di Kantor Pusat Jasa Marga. 

Dalam Reuni Paskibraka Nasional, Yadi juga masih menjadi “Lurah Putra” yang paling tangguh. Bersama “Lurah Putri” Chelly Urai, Ia mampu memimpin 21 orang warga Paskibraka 78 menjadi begitu dominan di tengah angkatan lain dengan yel-yel penuh semangat. Tak pernah terbersit dalam pikiran saya, juga teman-teman 78, kalau “kakek” yang baru saja mendapat cucu laki-laki ini akan pergi lebih dulu.

Menurut informasi dari keluarga, peristiwa kecelakaan terjadi seusai Yadi dan kawan-kawannya melakukan touring dengan motor Bajaj Pulsar ke Sukabumi. Dalam tur itu, Yadi berboncengan dengan istrinya. Perjalanan klub motor itu sebenarnya aman-aman saja mulai dari pergi sampai pulang dan pesertanya membubarkan diri.

Sebelum pulang, bersama beberapa teman tersisa, Yadi singgah di sebuah rumah makan di Ujung Genteng, sekalian shalat Maghrib. Bubar dari restoran itu, istri Yadi ikut dengan mobil, sementara Yadi sendiri kembali naik motor. Malang tak dapat ditolak, begitu motor Yadi keluar ke jalan raya, sebuah mobil menabraknya. Tabrakan yang sangat keras itu seketika merenggut nyawanya.

Sama dengan keluarga yang merasa kepergian Yadi seperti mimpi, saya dan teman-teman Paskibraka 78 merasakan kekagetan yang luar biasa. Berenam (saya, Budi Winarno, Sonny, Chelly, Tetty dan Ilham), hanya bisa tercenung di depan makam dengan nisan bertuliskan nama Yadi Mulyadi. Onggokan tanah merah yang baru saja diuruk dengan taburan bunga di atasnya. Desir angin menggerakkan daun-daun bambu, dan gesekannya melahirkan suara desis yang mengiris. 

Di bawah rerimbunan bambu itulah kini raga Yadi bersemayam, sementara arwahnya telah kembali menemui Al-Khalik dengan segala kebaikan dan amal yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia. Namun, jiwanya masih tetap ada di hati saya, dan abadi di hati kita semua yang pernah mengenalnya.

Selamat jalan sahabat...  Doa kami selalu, semoga engkau tenang di alam sana....