Suatu kali, pada tahun 1993, saya dan beberapa teman Paskibraka 1978, pernah bertanya kepada Kak Husein Mutahar: ”Apakah pada saat mencetuskan gagasan Paskibraka tahun 1946, Kakak pernah berpikir nantinya akan ada ribuan alumni dan mereka akan dijadikan apa?”
Kak Mut mendadak sontak kaget dan menjawab, ”Tidak, tidak pernah. Saya hanya berpikir bahwa kalianlah para pemuda yang akan menjadi penerus bangsa. Kalian adalah simbol manusia masa depan yang pantas diberi tanggung jawab itu. Kalau sekarang kalian merasa menjadi korban impian saya karena tidak mendapat tempat yang semestinya, itu semua salah saya. Saya pantas merasa bersalah.”
Kak Mutahar sebenarnya tak perlu merasa bersalah, karena melahirkan gagasan cemerlang Paskibraka saja sudah lebih dari cukup pada saat itu. Tugas orang-orang sesudahnyalah untuk meneruskan gagasan itu menjadi sebuah kerja pembinaan yang berkesinambungan.
Tahun 1973, apa yang tak terpikirkan Kak Mut itu direspon dengan sigap oleh seorang ”adiknya” dari Kepanduan (Pramuka), yaitu Kak Idik Sulaeman.
Tahun 1973, apa yang tak terpikirkan Kak Mut itu direspon dengan sigap oleh seorang ”adiknya” dari Kepanduan (Pramuka), yaitu Kak Idik Sulaeman.
Kak Idik yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pengembangan & Latihan di Departeman P&K terdorong untuk menyempurnakan konsep pelatihan yang disusun Kak Mut saat menjabat Dirjen Udaka (Urusan Pemuda dan Pramuka) Departemen P&K tahun 1966-1968. Maklum, Idik memang salah satu orang dekat yang selalu berada di sisi Kak Mut sejak kelahiran Pasukan Penggerek Bendera Pusaka pada tahun 1968.
Idik lalu menyusun sebuah konsep lengkap Pelatihan Paskibraka dari yang sebelumnya telah diujicobakan pada 1966-1967 dan terus digunakan sampai 1972, yakni ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila”. Bukan itu saja, ia pun merancang hampir seluruh perangkat pelatihan itu: mulai dari menciptakan nama baru Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), pakaian seragam, sampai lambang korps Paskibraka, lambang anggota Paskibraka dan atribut-atribut tanda Pengukuhan.
Suatu saat, saya pernah pula memuji Kak Idik bahwa ”konsep kedua” dari Paskibraka yang dilahirkannya berkesan amat dalam bagi setiap anggota Paskibraka. Kak Idik tersenyum dan hanya menjawab singkat, ”It’s just a game!”
Kak Idik benar. ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila” hanyalah sebuah ”permainan”. Sebuah simulasi yang memberikan kesempatan pada setiap orang yang diajak bermain untuk menemukan sendiri siapa dirinya, apa perannya dan apa yang pantas dilakukannya untuk bangsa dan negaranya.
Permainan kecil itu kelak menjelma menjadi sebuah permainan lain dengan pertaruhan sangat besar ketika para Purna Paskibraka memasuki arena yang sesungguhnya di kehidupan. Ada yang mampu melewatinya dengan memanfaatkan simulasi yang pernah dijalaninya sehingga berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya dan diharapkan para pembinanya. Namun, ada pula yang melupakannya dan hanyut dengan ”permainan” lain. Mereka inilah orang-orang yang kehilangan jiwa Paskibraka.
Tak ada yang perlu disesali, karena konsep pembinaan Paskibraka memang diarahkan untuk menciptakan individu-individu yang baik. Setelah itu, terserah dia sendiri: apakah mau menjadikan dirinya baik (sehingga keluarganya baik, kelompoknya baik, masyarakatnya baik dan bangsanya baik), atau sebaliknya. ”It’s just a game!”
***
Dalam perjalanan sejarah Paskibraka, dua nama —Husein Mutahar dan Idik Sulaeman— telah menjadi tonggak utama dalam hal konsep. Sosok lainnya, tercatat menjabarkan konsep besar itu dalam aplikasinya, semisal Kak Dharminto Surapati yang sangat ahli di lapangan dan tatacara penghormatan terhadap bendera, atau Kak Soebedjo dan Bunda Boenakim yang begitu berwibawa dan anggunnya di asrama.
Munculnya gagasan Kak Mutahar tentang Paskibraka (1946), sampai penciptaan secara utuh wujud Paskibraka dari Kak Idik (1973), membutuhkan rentang waktu 27 tahun. Dengan menggunakan statistik deret hitung sederhana, 27 tahun kemudian yakni pada tahun 2000, seharusnya telah muncul sebuah konsep baru yang merupakan lanjutan dari dua konsep yang telah ada.
Pertanyaan untuk itu tentu sesederhana pertanyaan saya pada Kak Mutahar di awal tadi: ”Mau dikemanakan ribuan Purna Paskibraka yang sudah ada?” atau ”Apa yang harus dikerjakan oleh ribuan Purna Paskibraka yang kini ada?”
Waktu tenggat atau deadline memang telah terlewati. Bukan sebentar, tapi 8 tahun, saat Paskibraka telah melewati ulang tahunnya yang ke-40 pada Agustus 2008. Sementara itu, para Purna Paskibraka masih tetap menjadi ”tulang-tulang yang berserakan”, bukan sebuah ”rangka” yang kokoh untuk berdiri saling menopang dan menghasilkan sesuatu yang lebih berarti bagi sesamanya.
Secara sporadis, memang banyak komunitas Paskibraka berbasis kedaerahan yang melakukan berbagai aktivitas. Namun, hampir seluruhnya hanya sebatas menjadi pelaksana pada saat kegiatan persiapan pengibaran bendera menjelang 17 Agustus. Lebih dari itu, nyaris tidak ada.
Organisasi yang menyebut diri sebagai wadah resmi alumni Paskibraka yakni Purna Paskibraka Indonesia (PPI), pun belum terlihat mempunyai visi dan misi jauh ke depan untuk mengisi kekosongan itu. Program kerja organisasi ini masih sangat “jangka pendek”, lima-tahunan saja, atau sebatas umur kepengurusan. Lebih dari itu, urusan pengurus berikutnya. Soal masa depan Paskibraka, kapan-kapan saja dipikirkan.
Untuk itulah, mungkin saat ini dibutuhkan ”orang ketiga” dengan kualifikasi sekaliber Husain Mutahar dan Idik Sulaeman. Orang yang mampu menciptakan konsep lanjutan pembinaan dan pemberdayaan Purna Paskibraka. Atau kalau orang tersebut tidak ada, bolehlah digantikan dengan sekelompok Purna Paskibraka yang bersama-sama menghasilkan sebuah pemikiran baru yang segar dan berguna. Boleh siapa saja, tepuk dada tanya selera, dan silakan acungkan tangan sekarang juga!
Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978
No comments:
Post a Comment