Wednesday, January 14, 2009

Dicari: Orang Ketiga !

Suatu kali, pada tahun 1993, saya dan beberapa teman Paskibraka 1978, pernah bertanya ke­pada Kak Husein Mutahar: ”Apakah pada saat mencetuskan ga­gasan Pas­kibraka tahun 1946, Kakak per­nah berpikir nanti­nya akan ada ribuan alumni dan me­re­ka akan dijadikan apa?”
Kak Mut mendadak sontak kaget dan men­jawab, ”Tidak, tidak pernah. Saya hanya ber­pikir bahwa kalianlah para pe­muda yang akan menjadi penerus bang­sa. Kalian adalah simbol manusia masa depan yang pantas diberi tang­gung ja­wab itu. Kalau sekarang kalian merasa menjadi korban impian saya karena tidak men­dapat tempat yang semestinya, itu semua salah saya. Saya pantas merasa ber­­salah.”
Kak Mutahar sebenarnya tak perlu me­rasa bersalah, karena melahirkan gagas­an cemer­lang Paskibraka saja sudah le­bih dari cukup pada saat itu. Tugas o­rang-orang sesu­dah­nyalah untuk mene­rus­kan gagasan itu menjadi sebuah kerja pem­binaan yang berkesinam­bungan.
Tahun 1973, apa yang tak terpikirkan Kak Mut itu direspon dengan sigap oleh seorang ”adiknya” dari Kepanduan (Pra­muka), yaitu Kak Idik Sulaeman.
Kak Idik yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pengem­bangan & Latihan di Departeman P&K terdorong untuk menyempurnakan konsep pela­tihan yang disusun Kak Mut saat menjabat Dirjen Udaka (Urusan Pemuda dan Pramuka) Departemen P&K tahun 1966-1968. Maklum, Idik memang salah satu orang dekat yang selalu berada di sisi Kak Mut sejak kelahiran Pasukan Penggerek Bendera Pusaka pada tahun 1968.
Idik lalu menyusun sebuah kon­sep lengkap Pelatihan Paskibraka dari yang sebelumnya telah diuji­co­bakan pada 1966-1967 dan terus digunakan sampai 1972, yakni ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila”. Bukan itu saja, ia pun merancang hampir seluruh pe­rang­kat pelatihan itu: mulai dari men­cip­takan nama baru Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), pakaian sera­gam, sampai lambang korps Paski­braka, lambang anggota Paskibraka dan atribut-atribut tanda Pengukuhan.
Suatu saat, saya pernah pula memuji Kak Idik bahwa ”konsep kedua” dari Pas­kibraka yang dilahirkannya berkesan amat dalam bagi setiap anggota Pas­kibraka. Kak Idik tersenyum dan hanya menjawab singkat, ”It’s just a game!”

Kak Idik benar. ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila” hanyalah se­buah ”perma­inan”. Sebuah simulasi yang memberikan kesempatan pada setiap orang yang diajak bermain untuk me­nemukan sendiri siapa dirinya, apa pe­rannya dan apa yang pantas dilaku­kan­nya untuk bangsa dan negaranya.

Permainan kecil itu kelak menjelma menjadi se­buah permainan lain dengan perta­ruhan sangat besar ketika para Purna Paskibraka memasuki arena yang se­sungguhnya di kehidupan. Ada yang mampu melewatinya dengan meman­faatkan simulasi yang pernah dijalani­nya sehingga berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya dan diharapkan para pembinanya. Namun, ada pula yang melupakan­nya dan hanyut dengan ”permainan” lain. Mereka inilah orang-orang yang kehi­lang­an jiwa Paskibraka.
Tak ada yang perlu disesali, karena konsep pembi­na­an Paskibraka memang diarahkan untuk menciptakan individu-individu yang baik. Setelah itu, terserah dia sendiri: apakah mau menjadikan diri­nya baik (se­hing­ga keluarganya baik, kelompoknya baik, masyarakatnya baik dan bangsanya ba­ik), atau sebaliknya. ”It’s just a game!
***
Dalam perjalanan sejarah Paskibraka, dua nama —Husein Mutahar dan Idik Sulaeman— telah menjadi tonggak uta­ma dalam hal konsep. Sosok lainnya, terca­tat menjabarkan konsep besar itu dalam apli­kasinya, semisal Kak Dhar­minto Surapati yang sangat ahli di la­pangan dan tatacara penghormatan ter­ha­dap bendera, atau Kak Soebedjo dan Bunda Boenakim yang begitu berwi­bawa dan anggunnya di asrama.

Munculnya gagasan Kak Mutahar ten­tang Paskibraka (1946), sampai penciptaan se­ca­ra utuh wujud Paskibraka dari Kak Idik (1973), membutuhkan rentang waktu 27 tahun. Dengan mengguna­kan statistik deret hitung sederhana, 27 tahun ke­mu­dian yakni pada tahun 2000, seharusnya telah muncul sebuah konsep baru yang meru­pakan lanjutan dari dua konsep yang telah ada.

Pertanyaan untuk itu tentu sesederha­na per­tanyaan saya pada Kak Mu­ta­har di awal tadi: ”Mau dikemanakan ribuan Purna Paski­braka yang sudah ada?” atau ”Apa yang harus dikerjakan oleh ribuan Purna Paskibraka yang kini ada?”

Waktu tenggat atau deadline memang telah terlewati. Bukan sebentar, tapi 8 tahun, saat Paskibraka telah melewati ulang ta­hun­nya yang ke-40 pada Agustus 2008. Sementara itu, para Purna Paski­braka masih tetap menjadi ”tulang-tulang yang berserakan”, bukan sebuah ”rang­ka” yang kokoh untuk berdiri saling me­no­pang dan menghasilkan sesuatu yang lebih berarti bagi sesamanya.

Secara sporadis, memang banyak komunitas Paskibraka berbasis kedaerahan yang melakukan berbagai aktivitas. Namun, hampir seluruhnya hanya sebatas menjadi pelaksana pada saat kegiatan persiapan pengibaran bendera menjelang 17 Agustus. Lebih dari itu, nyaris tidak ada.

Organisasi yang menyebut diri sebagai wadah resmi alumni Paskibraka yakni Purna Paskibraka Indonesia (PPI), pun belum terlihat mempunyai visi dan misi jauh ke depan untuk mengisi kekosongan itu. Program kerja organisasi ini masih sangat “jangka pendek”, lima-tahunan saja, atau sebatas umur kepengurusan. Lebih dari itu, urusan pengurus berikutnya. Soal masa depan Paskibraka, kapan-kapan saja dipikirkan.

Untuk itulah, mungkin saat ini dibutuh­kan ”o­rang ketiga” dengan kualifikasi se­ka­liber Husain Mutahar dan Idik Sulae­man. Orang yang mam­pu menciptakan konsep lanjutan pembinaan dan pemberdayaan Purna Paskibraka. Atau kalau orang tersebut tidak ada, bolehlah digantikan dengan sekelompok Purna Paskibra­ka yang bersama-sama menghasilkan sebuah pemikiran baru yang segar dan berguna. Boleh sia­pa saja, tepuk dada tanya selera, dan sila­kan acungkan tangan sekarang juga!

Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978

No comments:

Post a Comment