Wednesday, January 14, 2009

Kisah Dua Carik Kain Merah dan Putih

Tak banyak cerita yang selama ini terungkap tentang bendera pusaka. Sebagian besar orang bilang kalau bendera berukuran 2x3 meter itu dijahit dengan tangan oleh Ibu Fatmawati. Tapi, dalam sebuah pameran foto yang diselenggarakan oleh keluarga Bung Karno, diperlihatkan kalau Ibu Fat menjahit bendera itu dengan sebuah mesin jahit.
Entah mana yang benar, yang pasti bendera hasil jahitan Ibu Fat itulah yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Cerita tentang sebelum bendera itu dijahit, hampir tidak pernah diketahui orang.
Tetapi nanti dulu… Ini ada kisah dari penuturan pelakunya sendiri tentang dari mana Ibu Fat mendapatkan kain untuk membuat bendera pusaka.
Pada 1944, Jepang telah menjan­jikan kemerde­­kaan untuk Indonesia. Bendera Me­rah Putih sudah diizinkan untuk diki­bar­kan dan lagu Indonesia Raya boleh diku­man­dang­kan di seluruh Nu­san­tara. Ibu Fat, istri Bung Kar­no “Sang Prok­lamator”, termasuk orang yang bingung karena tidak punya bendera untuk dikibarkan di depan rumahnya, Jalan Pegang­saan Timur 56 Jakarta, bila nanti kemerdekaan diproklamasikan.
Membayangkannya memang sulit. Saat sebagian rakyat Indonesia tak punya pakaian dan memakai kain karung, Ibu Fat perlu kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Kain saat itu adalah barang langka, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih dikuasai Jepang. Kalau­pun ada di black market (pasar gelap), untuk mendapatkannya harus diam-diam.
Ibu Fat kemudian memanggil seo­rang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda di­min­tanya untuk menemui pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu (masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004) adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan Tiga A.
Shimizu yang politikus, tidak seperti orang Jepang lain­nya yang selalu bertindak kasar atas dasar hubungan keku­asaan. Shimizu rajin mende­ngarkan unek-unek, pikiran dan pendirian pihak Indonesia. Karena itu, ia lebih diang­gap ”teman” oleh dan mudah diterima di berbagai kalang­an, apa­lagi dengan kemampuan bahasa Indonesianya yang lumayan, meski masih terpatah-patah.
Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fat diperoleh melalui pertolongan pembesar Jepang lain yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol. Cerita itu terasa amat sepele dan tak pernah diingat-ingat oleh Chaerul maupun Shimizu.
Tahun 1977, Shimizu ber­kunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fat menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkan pertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang se­karang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu.
Ke­nyataan ini begitu mem­bang­gakan buat Chaerul maupun Shimizu, yang tak menyangka bila apa yang mereka lakukan begitu be­sar artinya untuk bangsa Indonesia sampai saat ini.

Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978

No comments:

Post a Comment