Kelahiran sebuah korps yang kelak (dengan bangga) menyebut dirinya Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) sebenarnya terjadi secara tidak disengaja. Beberapa hari menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI yang pertama, Presiden Soekarno memberi tugas kepada salah satu ajudannya, Mayor M. Husein Mutahar, untuk mempersiapkan upacara peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1946, di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Mutahar, yang dikenal punya rasa kebangsaan sangat kental (ditandai dengan lagu-lagu ciptaannya seperti Hari Merdeka dan Syukur), segera memenuhi permintaan Bung Karno. Acara pun disusun satu persatu, mulai dari pembacaan naskah Proklamasi. Namun, tiba-tiba Mutahar teringat akan sesuatu. Menurut dia, rasa cinta Tanah Air, persatuan dan kesatuan bangsa wajib dilestarikan kepada generasi penerus. “Tapi, simbol-simbol apa yang bisa digunakan?”
Melalui materi yang akan dipakai pada upacara itu, Mutahar memilih pengibaran bendera (pusaka). Dalam benaknya, pengibaran lambang negara itu memang sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia (seperti juga pada tahun 1945).
Tanpa buang waktu, ditunjuknya lima pemuda (terdiri dari tiga putri dan dua putra) untuk menjadi pelaksana pengibaran bendera. Lima orang itu, dalam pikiran Mutahar adalah simbol dari Pancasila. Salah satu pengibar bendera pusaka pada 17 Agustus 1946 itu adalah Titik Dewi, pelajar SMA asal Sumatera Barat yang saat itu sedang menuntut ilmu dan tinggal di Yogyakarta.
Dari pengalaman pertama tahun 1946 itu, Mutahar menganggap apa yang dilakukannya sudah tepat. Bung Karno pun tidak memprotes keputusan yang diambil Mutahar untuk menyerahkan tugas pengibaran bendera pusaka kepada para pemuda. Berturut-turut, pada tahun 1947 dan 1948, pengibaran bendera oleh lima pemuda asal berbagai daerah itu terus dilestarikan.
Pada akhir tahun 1948 Bung Karno serta beberapa Pemimpin sempat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Parapat (Sumatera Utara), lalu dipindahkan ke Muntok (Bangka). Saat itu, bendera pusaka sempat diselamatkan oleh Husein Mutahar dari sitaan Belanda, bahkan dikirimkan ke Bangka dengan cara yang rumit dan sulit.
Tanggal 6 Juli 1949, Bung Karno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka kembali dikibarkan di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Seusai penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan lndonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag (Konferensi Meja Bundar), Ibukota Republik Indonesia dikembalikan ke Jakarta. Pada 17 Agustus 1950, pengiabran bendera pusaka dilaksanakan di halaman Istana Merdeka Jakarta. Husein Mutahar tidak lagi terlibat, karena regu-regu pengibar bendera pusaka diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan RI. Pada kurun waktu tersebut, pada pengibar kebanyakan diambil dari unsur pelajar atau mahasiswa yang ada di Jakarta.
Meski hanya empat kali (1946-1949), pengibaran bendera pusaka di yogya oleh lima pemuda mewakili daerah yang digagas Husein Mutahar telah menjadi tonggak untuk menopang kelahiran Paskibraka. Dan, cita-cita Mutahar mengumpulkan pemuda dari seluruh Indonesia untuk mengibarkan bendera pusaka itu, kelak terwujud juga tahun 1968…
Monday, January 26, 2009
Riwayat Hidup M. Husein Mutahar
Nama : Haji M. Husein Mutahar
Lahir : Semarang, 5 Agustus 1916
Lahir : Semarang, 5 Agustus 1916
- SEKOLAH:
- ELS (Europese Lagere School) (SD Eropa 7 tahun), merangkap mengaji/membaca Al-Quran pada guru wanita, Encik Nur.
- MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs) atau SMP 3 tahun di Semarang, merangkap mengaji pada Kiai Saleh.
- MS (Algemeen Midelbare School) atau SMA, jurusan Sastra Timur, khusus bahasa Melayu, di Yogyakarta.
- Universitas Gajah Mada, Jurusan Hukum merangkap Jurusan Sastra Timur, khusus Jawa Kuno di Yogyakarta (sesudah 2 tahun drop out karena perjuangan).
- Semua Kursus/Training Pemimpin Pandu di Indonesia dan di London.
- Training School Diplomatic and Consulair Affairs di Nederland.
- Training School Diplomatic and Consulair Affairs di kantor PBB (United Nation Organization/UNO), New York.
- PEKERJAAN:
- Guru Bahasa Belanda di SD swasta Islam di Pekalongan.
- Wartawan berita kota, surat kabar Belanda "Het Noorden" di Semarang, 1938.
- Klerk di Cosultatie Bureau der Afdeling Nijverheid voor Noord Midden Java, Departement Ekonomische Zaken, 1939-1942.
- Sekretaris Keizai Bucho (Kepala Bagian Ekonomi) Kantor Gubernur Jawa Tengah, 1943.
- Pegawai Rikuyu Sokyoku (Jawatan Kereta Api Jawa Tengah Utara) di Semarang, 1943-1948.
- Sekretaris Panglima Angkatan Laut Republik Indonesia, 1945-1946.
- Ajudan III, kemudian Ajudan II Presiden Republik Indonesia, 1946-1948.
- Pegawai Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 1969-1979.
- Diperbantukan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka (Dirjen Udaka) Departemen P&K, 1966-1968.
- Diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia pada Tahta Suci di Vatikan, 1969-1973.
- Direktur Protokol Departemen Luar Negeri merangkap Protokol Negara, 1973-1974
- InspekturJenderal Departemen Luar Negeri dan selama 16 bulan, merangkap Direktur Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, merangkap Kepala Protokol Negara, 1974.
- Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil, golongan IVe.
- PERGERAKAN:
- Pemimpin Pandu dan Pembina Pramuka, 1934-1969
- Anggota Partai Politik, 1938-1942
- Kepala Sekolah Musik di Semarang, sebagai tempat penanaman, penyebaran, dan pengobaran semangat kebangsaan Indonesia, sebagai gerakan melawan penyebaran semangat Jepang dan bungkus gerakan subversi lawan Jepang, 1942-1945
- Anggota AMKRI (Angkatan Muda Kereta Api Indonesia) di Semarang, 1945.
- Anggota BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia) Jawa Tengah, 1945.
- Anggota redaksi majalah ”Revolusi Pemuda”, 1945-1946.
- Gerilya, 1948-1949
- Ikut mendirikan dan bergerak sebagai pemimpin Pandu serta kemudian menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Persatuan dan Kesatuan Kepanduan Nasional Indonesia ”Pandu Rakyat Indonesia”, 28-12-1945 s.d. 20-5-1961.
- Ikut mendirikan dan bergerak sebagai Pembina Pramuka, duduk sebagai anggota Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Andalan Nasional Urusan Latihan,1961-1969.
- Sekretaris Jenderal Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka, 1973 -1978, dan anggota biasa, 1978-2004.
- Alumni Penataran P-4 Tingkat Nasional XIX,1980.
- Ketua Umum organisasi sosial di bidang pendidikan ”Parani Dharmabakti Indonesia” (PADI), 1987–2004.
- Ketua Dewan Pengawas ”Yayasan Idayu”.
- HOBI:
- Seni Suara
- Studi Agama Islam dan perbandingan agama-agama serta organisasi kerohanian, baik di dunia Timur maupun Barat.
- KELUARGA:
- Tidak menikah, namun mempunyai 8 anak semang (6 laki-laki dan 2 perempuan). Sebagian merupakan ”serahan” dari ibu mereka —yang janda— atau bapak mereka —beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Ada pula bapak/ibu yang sukarela menyerahkan anaknya untuk diakui sebagai anak sendiri. Semua sudah berumah tangga dan mempunyai 15 orang cucu (7 laki-laki dan 8 perempuan).
- MENINGGAL DUNIA:
- Hari Rabu, 9 Juni 2004, pukul 16.30 WIB, dalam usia 87 tahun di Jln. Damai No.20 Cipete, Jakarta Selatan. Dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Sebetulnya, beliau berhak dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata karena memiliki tanda kehormatan ”Mahaputera” atas jasa menyelamatkan bendera pusaka Merah Putih dan ”Bintang Gerilya” atas jasanya ikut perang gerilya tahun 1948-1949. Tetapi, beliau tidak mau, bahkan mengurus hal itu kepada pengacara dengan membuat surat wasiat.
Sumber: Drs H. Idik Sulaeman, AT, Booklet Paskibraka 2004
Friday, January 16, 2009
Menjaga Sejarah Paskibraka
Mulanya, saya tidak begitu peduli ketika Latihan Paskibraka di tingkat nasional tidak lagi ditangani oleh Departemen Pendidikan Nasional (melalui Direktorat Kepemudaan, Ditjen Diklusepora) mulai tahun 2005. ”Ah, silabus latihannya kan sudah dibakukan, pasti tidak ada masalah. Buktinya, masih ada Paskibraka yang mengibarkan bendera pusaka di Istana Merdeka,” pikir saya.
Saya lalu membayangkan, orang-orang yang tadinya biasa menangani latihan itu tentu masih terus diikutsertakan sebagai pembina ketika latihan kini ditangani oleh Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Ada sebuah kesinambungan ’sejarah’ yang tidak harus ditinggalkan begitu saja. Paling tidak, ’benang merah’ akan tetap tersambung dengan kuat.
Namun, sebersit rasa ragu akhirnya berkelebat juga di benak saya. Jangan-jangan, yang terjadi tidak seperti yang saya bayangkan. Seberapa besar persentase perubahan yang telah terjadi akibat perbedaan dalam birokrasi penyelenggara latihan, saya sendiri belum pernah mengukur.
Akhirnya, bertemulah saya dengan seseorang yang menjadi ”saksi hidup” Paskibraka selama 35 tahun. Manusia langka yang bernama Slamet Rahardjo itu bukan saja menjadi saksi sejarah Paskibraka sejak 1970, tapi ia juga menjadi orang yang menjaga setiap lembar dokumen Paskibraka dalam lemarinya ketika Direktorat Pembinaan Generasi Muda masih berada di Jalan Merdeka Timur 14 Gambir, Jakarta.
Dari cerita yang saya terima, akhirnya kekhawatiran saya seolah menemukan pembenaran. Persoalan birokrasi dengan diboyongnya Direktorat Kepemudaan dari Gedung E Depdiknas ke Deputi II Kantor Menpora telah memberi dampak yang amat besar dan menakutkan bagi saya. Bukan saja dalam masalah pembinaan Paskibraka, tapi juga dengan dokumen-dokumen sejarah Paskibraka.
Di ’rumah’ itu, yang dibutuhkan Purna Paskibraka selalu tersedia: foto-foto ketika latihan, data diri atau alamat teman-teman seangkatan dan arsip apa saja tentang latihan Paskibraka. Atau, beberapa kali, pernah ada Purna Paskibraka yang datang untuk meminta salinan sertifikat ’Latihan Kepemudaan/Paskibraka’ karena ingin mendaftar di Akademi Militer/Kepolisian. Semuanya ada dalam arsip, dan bisa digandakan kapan saja.
Mereka bisa mengetuk setiap pintu ruangan atau ’ngobrol’ akrab dengan setiap orang di PGM, termasuk Direkturnya. Purna selalu disambut dengan senyum di rumah itu. Begitu PGM pindah ke Gedung E Depdiknas di Senayan (dan berubah menjadi Direktorat Kepemudaan), suasana seakrab di Gambir tak lagi bisa ditemui. Anda harus melapor ke resepsionis Diklusepora lebih dulu, mengisi buku tamu, dan berbagai macam persyaratan layaknya bertamu ke sebuah gedung perkantoran. Tapi masih untung, karena ada orang yang Anda kenal di sana. Dan dokumen-dokumen Paskibraka masih utuh meski sedikit berceceran ketika dibawa pindah.
Sekarang, ketika Direktorat Kepemudaan dilikuidasi dari Depdiknas dan diboyong ke Kantor Menpora, yang terjadi sangat membuat miris. Pemindahan birokrasi —yang sangat sarat politis— itu berdampak sangat buruk bagi sejarah maupun masa depan Paskibraka. Sebagian besar personalia PGM (terutama yang senior) tidak bersedia ikut pindah ke Kantor Menpora, mengakibatkan tidak terjaminnya lagi kualitas ”Gladian Sentra” dalam latihan Paskibraka. Personalia PGM yang ’terpecah belah’ tidak lagi sempat memikirkan Paskibraka, karena lebih memilih ’peduli’ pada nasib sendiri.
Dalam keadaan seperti itu, seorang Slamet Rahardjo pun tidak lagi bisa menentukan apakah isi lemarinya harus ikut diboyong ke tempat yang baru sementara ia tetap tinggal di Depdiknas. Atau, segerobak arsip —termasuk lembaran formulir biodata asli tulisan tangan anggota Paskibraka— itu harus dibawa pulang ke rumahnya di Bekasi. Tapi untuk apa?
Pada saat-saat kalut seperti itu, dia pun lupa untuk menitipkan dokumen-dokumen bersejarah pada Purna Paskibraka. Pengurus PPI —yang seharusnya peduli— pun tidak pernah berbuat sesuatu. Akhirnya, kertas-kertas dokumen itu masuk ke gudang, dijual kiloan ke lapak, atau dibakar.
Tidak diketahui persis, berapa banyak arsip tentang Paskibraka yang telah hilang. Berapa banyak pula yang masih ada, namun diurus oleh orang-orang yang tidak kita kenal di Deputi II Menpora. Betapa sulitnya kini untuk melengkapi dan mendokumentasikan data Paskibraka, Komandan Pasukan (Danpas), Pembina dan Pelatih, karena catatan itu sebagian besar telah hilang.
Semenjak PGM tak lagi berada di Gambir, kita telah kehilangan ”rumah” dan ”sekolah” yang sejuk dan nyaman. Sejak kepergian Kak Mutahar, Bunda Bunakim dan Kak Darminto, kita hampir-hampir tak lagi punya ”orangtua” dan ”guru” karena yang tersisa hanya Kak Idik Sulaeman. Kini, setelah PGM tidak ada lagi dan hilang bersama sebagian besar dokumen-dokumen Paskibraka, kita kembali mengalami musibah kehilangan ”ijazah”.
Bayangkanlah beberapa tahun lagi, ketika orangtua dan guru-guru kita benar-benar semuanya telah pergi. Maka, sempurnalah kita, Purna Paskibraka, akan menjadi ”yatim piatu yang kehilangan orangtua dan guru, rumah dan sekolah serta ijazah”. Itu berarti, kita juga akan kehilangan ”sejarah” karena kita memang tak pernah mau menjaganya.
Saya lalu membayangkan, orang-orang yang tadinya biasa menangani latihan itu tentu masih terus diikutsertakan sebagai pembina ketika latihan kini ditangani oleh Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Ada sebuah kesinambungan ’sejarah’ yang tidak harus ditinggalkan begitu saja. Paling tidak, ’benang merah’ akan tetap tersambung dengan kuat.
Namun, sebersit rasa ragu akhirnya berkelebat juga di benak saya. Jangan-jangan, yang terjadi tidak seperti yang saya bayangkan. Seberapa besar persentase perubahan yang telah terjadi akibat perbedaan dalam birokrasi penyelenggara latihan, saya sendiri belum pernah mengukur.
Akhirnya, bertemulah saya dengan seseorang yang menjadi ”saksi hidup” Paskibraka selama 35 tahun. Manusia langka yang bernama Slamet Rahardjo itu bukan saja menjadi saksi sejarah Paskibraka sejak 1970, tapi ia juga menjadi orang yang menjaga setiap lembar dokumen Paskibraka dalam lemarinya ketika Direktorat Pembinaan Generasi Muda masih berada di Jalan Merdeka Timur 14 Gambir, Jakarta.
Dari cerita yang saya terima, akhirnya kekhawatiran saya seolah menemukan pembenaran. Persoalan birokrasi dengan diboyongnya Direktorat Kepemudaan dari Gedung E Depdiknas ke Deputi II Kantor Menpora telah memberi dampak yang amat besar dan menakutkan bagi saya. Bukan saja dalam masalah pembinaan Paskibraka, tapi juga dengan dokumen-dokumen sejarah Paskibraka.
***
Dulu, ketika masih di Gambir, Ditbinmud (kita masih saja menyebutnya dengan PGM sampai sekarang) menjadi ’Rumah Paskibraka’ yang begitu sejuk dan nyaman. Setiap Purna Paskibraka datang dari daerah tidak pernah lupa singgah. Purna yang sudah berada di Jakarta sekalipun, selalu berhenti atau membelokkan kendaraannya, sekadar untuk temu kangen dengan mantan pembinanya.Di ’rumah’ itu, yang dibutuhkan Purna Paskibraka selalu tersedia: foto-foto ketika latihan, data diri atau alamat teman-teman seangkatan dan arsip apa saja tentang latihan Paskibraka. Atau, beberapa kali, pernah ada Purna Paskibraka yang datang untuk meminta salinan sertifikat ’Latihan Kepemudaan/Paskibraka’ karena ingin mendaftar di Akademi Militer/Kepolisian. Semuanya ada dalam arsip, dan bisa digandakan kapan saja.
Mereka bisa mengetuk setiap pintu ruangan atau ’ngobrol’ akrab dengan setiap orang di PGM, termasuk Direkturnya. Purna selalu disambut dengan senyum di rumah itu. Begitu PGM pindah ke Gedung E Depdiknas di Senayan (dan berubah menjadi Direktorat Kepemudaan), suasana seakrab di Gambir tak lagi bisa ditemui. Anda harus melapor ke resepsionis Diklusepora lebih dulu, mengisi buku tamu, dan berbagai macam persyaratan layaknya bertamu ke sebuah gedung perkantoran. Tapi masih untung, karena ada orang yang Anda kenal di sana. Dan dokumen-dokumen Paskibraka masih utuh meski sedikit berceceran ketika dibawa pindah.
Sekarang, ketika Direktorat Kepemudaan dilikuidasi dari Depdiknas dan diboyong ke Kantor Menpora, yang terjadi sangat membuat miris. Pemindahan birokrasi —yang sangat sarat politis— itu berdampak sangat buruk bagi sejarah maupun masa depan Paskibraka. Sebagian besar personalia PGM (terutama yang senior) tidak bersedia ikut pindah ke Kantor Menpora, mengakibatkan tidak terjaminnya lagi kualitas ”Gladian Sentra” dalam latihan Paskibraka. Personalia PGM yang ’terpecah belah’ tidak lagi sempat memikirkan Paskibraka, karena lebih memilih ’peduli’ pada nasib sendiri.
Dalam keadaan seperti itu, seorang Slamet Rahardjo pun tidak lagi bisa menentukan apakah isi lemarinya harus ikut diboyong ke tempat yang baru sementara ia tetap tinggal di Depdiknas. Atau, segerobak arsip —termasuk lembaran formulir biodata asli tulisan tangan anggota Paskibraka— itu harus dibawa pulang ke rumahnya di Bekasi. Tapi untuk apa?
Pada saat-saat kalut seperti itu, dia pun lupa untuk menitipkan dokumen-dokumen bersejarah pada Purna Paskibraka. Pengurus PPI —yang seharusnya peduli— pun tidak pernah berbuat sesuatu. Akhirnya, kertas-kertas dokumen itu masuk ke gudang, dijual kiloan ke lapak, atau dibakar.
Tidak diketahui persis, berapa banyak arsip tentang Paskibraka yang telah hilang. Berapa banyak pula yang masih ada, namun diurus oleh orang-orang yang tidak kita kenal di Deputi II Menpora. Betapa sulitnya kini untuk melengkapi dan mendokumentasikan data Paskibraka, Komandan Pasukan (Danpas), Pembina dan Pelatih, karena catatan itu sebagian besar telah hilang.
***
Malam pertama setelah saya seharian ngobrol habis-habisan dengan Kak Slamet, airmata saya sempat mengambang. Begini tragiskah episode akhir dari sebuah keluarga bernama Paskibraka? Begitu sulitkah mencari orang-orang yang mau peduli pada ’korps’ yang telah membuat diri mereka bangga karena berbeda dari yang lain?Semenjak PGM tak lagi berada di Gambir, kita telah kehilangan ”rumah” dan ”sekolah” yang sejuk dan nyaman. Sejak kepergian Kak Mutahar, Bunda Bunakim dan Kak Darminto, kita hampir-hampir tak lagi punya ”orangtua” dan ”guru” karena yang tersisa hanya Kak Idik Sulaeman. Kini, setelah PGM tidak ada lagi dan hilang bersama sebagian besar dokumen-dokumen Paskibraka, kita kembali mengalami musibah kehilangan ”ijazah”.
Bayangkanlah beberapa tahun lagi, ketika orangtua dan guru-guru kita benar-benar semuanya telah pergi. Maka, sempurnalah kita, Purna Paskibraka, akan menjadi ”yatim piatu yang kehilangan orangtua dan guru, rumah dan sekolah serta ijazah”. Itu berarti, kita juga akan kehilangan ”sejarah” karena kita memang tak pernah mau menjaganya.
Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978
Wednesday, January 14, 2009
Kisah Chaerul Basri Mencari Gedung Pegangsaan Timur 56
Chaerul Basri adalah pemuda asal Bukittinggi yang pada tahun 1944 mendapat tugas dari Ibu Fatmawati, istri Bung Karno, untuk mencarikan kain merah dan putih. Setahun kemudian, dua carik kain merah dan putih itu telah berubah menjadi sebuah bendera berukuran 2x3 meter yang dikibarkan beberapa saat setelah Proklamasi dibacakan, di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Bendera itu kemudian disebut sebagai bendera pusaka.
(Baca kisah-dua-carik-kain-merah-dan-putih.html)
Semenjak berusia delapan tahun, Chaerul memang seorang pengagum Bung Karno. Kebetulan ia indekos bersama sekumpulan murid MULO (SMP) di Bukittinggi yang sedang keranjingan gerakan kebangsaan. Mereka mendiskusikan perjuangan kebangsaan, termasuk perjuangan Soekarno, dan setiap malam menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum tidur. Chaerul memang masih kecil, tapi obrolan anak-anak MULO itu telah membuatnya seolah kenal dengan Soekarno.
Setelah sekolah AMS (SMA) di Jakarta, seorang temannya yang bernama Abdullah Hassan (sekarang dokter tentara) selalu menyediakan buku-buku mengenai pergerakan kebangsaan. Abdullah mendapatkan buku-buku itu dari pamannya, Husni Thamrin, seorang pemimpin nasionalis Betawi, yang waktu itu tinggal di Sawah Besar. Karena dekat dengan pergerakan kemerdekaan, tak heran Chaerul kenal dengan Shimizu, pejabat Jepang yang menjadi pemimpin barisan propaganda Jepang (Gerakan Tiga A).
Pada tahun 1943, karena gerakan propaganda kurang mendapat sambutan, akhirnya Jepang membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menggerakkan potensi rakyat Indonesia (untuk membantu Jepang dalam perang Asia Timur). Kepulangan Bung Karno dari pengasingan di Sumatera pun dipermudah. Bung Karno kembali ke Jakarta dan mendarat di Pasar Ikan.
Perundingan kerjasama antara Jepang dan Soekarno-Hatta pun dimulai. Namun, konsep Jepang dan Soekarno-Hatta sama sekali berbeda. Akhirnya, disetujuilah pendirian pusat mobilisasi rakyat yang akan dipimpin “Empat Serangkai” dimotori Bung Karno dan Bung Hatta. Gerakan itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), yang berkantor di gedung bekas sekolah MULO, di Jalan Sunda.
Begitu persetujuan hampir mendekati realisasi, Jepang ingin menyediakan sebuah rumah dan mobil untuk Bung Karno. Mobil bekas Belanda memang banyak menumpuk di Gunseikanbu (Kantor Pertamina sekarang) dan untuk Bung Karno diberikan sebuah mobil Buick plus seorang sopir. Lalu, bagaimana dengan rumah untuk Bung Karno?
Pada suatu hari, Bung Karno datang ke Gunseikanbu bertemu Shimizu. Entah apa yang mereka bicarakan, tiba-tiba Chaerul Basri dipanggil Shimizu ke ruangannya. Bung Karno sedang duduk di belakang meja, sedang Shimizu mondar-mandir di depan Bung Karno. Ini adalah kebiasaannya. Ia tidak dapat duduk tenang di suatu tempat, tetapi selalu berjalan mondar-mandir kalau sedang berbicara.
Seingat Chaerul, Bung Karno waktu itu berpakaian mirip safari yang terbuat dari bahan yang waktu itu dikenal dengan nama merek kulit kayu. Shimizu memperkenalkan Chaerul pada Bung Karno. Memang, sebelumnya Chaerul sudah beberapa kali bertemu dengan Bung Karno, tetapi tidak bersifat resmi. Di kantor Shimizu itulah ia baru benar-benar berkenalan dengan Bung Karno.
“Pemuda", itulah panggilan Shimizu pada Chaerul, "bisakah cari rumah buat orang besar?" Yang dimaksud orang besar itu adalah Bung Karno. Sedangkan Shimizu sendiri menyebut dirinya: "saya jongos" atau "saya pelayan". Bung Karno sendiri tersenyum mendengar Shimizu berbicara.
Pada waktu itu Chaerul menjawab "bisa", karena ia kebetulan tahu banyak rumah yang baik, representatif, dan besar di daerah Menteng. Daerah Menteng dikenalnya karena waktu itu ia tinggal di Jalan Jawa No 112 (kini Jalan HOS Tjokroaminoto).
Pada saat saya hendak meninggalkan ruangan, tiba-tiba Bung Karno berkata, “Chaerul, kamu mengerti rumah macam apa yang aku inginkan.”
“Mengerti Bung, akan saya carikan rumah yang besar, mewah, dan cukup representatif,” jawab Chaerul.
Bung Karno tersenyum dan berkata lagi, ''Bukan, bukan itu yang saya maksud. Saya butuh rumah yang pekarangannya luas agar saya bisa menerima rakyat banyak!"
Chaerul terdiam dan tertegun. Pikirannya melayang ke mana-mana, karena baru sekali ini ia mendengar ucapan dari seseorang yang mengaitkan tempat kediamannya dengan rakyat banyak.
Chaerul telah beberapa kali mencarikan rumah untuk pemimpin-pemimpin lainnya dengan syarat yang sama: rumah yang representatif, besar, mewah, dan berada di jalan yang terkemuka. Persyaratan itu telah baku, tapi tidak buat Bung Karno. Dengan penuh pemikiran tentang persyaratan yang diajukan Bung Karno, Chaerul meninggalkan ruangan itu.
Hal ini diceritakan Chaerul pada Adel Sofyan, teman sekerjanya. Sore harinya, dengan berboncengan sepeda mereka berkeliling daerah Menteng. Ada rumah-rumah besar dan luas di sekitar Taman Suropati, tetapi semuanya telah ditempati pembesar Jepang. Akhirnya, mereka tiba di Jalan Pegangsaan Timur (Jalan Proklamasi sekarang), terlihat sebuah rumah yang cukup luas pekarangannya.
Rumah itu sederhana. Barangkali lebih cocok dikatakan seperti sebuah rumah yang terletak di tengah perkebunan. Serambi depan rumah itu terbuka, halamannya yang luas ditumbuhi pohon-pohon. Mereak berdiri di depan rumah, dan berkeliling memeriksanya dari samping. Akhirnya Chaerul berkata pada Adel bahwa mungkin rumah ini cocok dengan selera Bung Karno.
Esoknya, mereka melaporkan hasil penjajakan. Shimizu langsung menelepon Bung Karno. Terjadilah tanya jawab antara Shimizu dan Bung Karno mengenai rumah itu. Karena Shimizu tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Indonesia, maka ia menyerahkan telepon, dan Chaerul menceritakan tentang rumah itu. Ternyata, Bung Karno pernah lewat di depan rumah itu, dan juga tertarik. Alangkah gembiranya Chaerul.
Shimizu lalu menyuruh Chaerul untuk mengosongkan rumah tersebut. Sorenya, Chaerul dan Adel balik lagi ke rumah itu untuk berunding dengan pemilik rumah. Di sana mereka hanya diterima nyonya rumah (yang masih muda) dan anaknya yang berumur empat tahun, karena tuannya beberapa hari yang lalu diasingkan oleh Jepang.
Chaerul dan Adel menjelaskan maksud mereka dalam bahasa Belanda, dan menawarkan rumah lain yang lebih layak, walau tidak berhalaman luas. Serta-merta sang nyonya marah-marah dan mengatakan tidak akan keluar dari rumah itu apa pun yang terjadi. Mereka tidak melayani, karena maklum dengan kondisi kejiwaan sang nyonya: suami baru diasingkan, lalu rumah kesayangan mau diambil.
Saat melapor pada Shimizu, Chaerul mengusulkan agar pemindahan nyonya itu dilakukan melalui pemerintah, dan nyonya tersebut diberi ganti rugi rumah yang layak. Seminggu kemudian rumah itu berhasil dikosongkan, dan sang nyonya dipindahkan ke sebuah rumah bertingkat di Jalan Lembang. Semenjak itu, mulailah Bung Karno dan Ibu Fatmawati menempati rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu sebagai kediaman resmi.
Setelah berhasil mendapatkan rumah itu, hubungan Chaerul dengan Bung Karno dan Ibu Fatmawati menjadi semakin dekat. Chaerul kenal dengan Ibu Fatmawati pertama kali di atas feri yang membawanya dari Tanjung Karang menuju Merak. Perkenalan itu atas jasa sahabatnya, Semaun Bakri, yang ditugaskan Bung Karno untuk menjemput Ibu Fatmawati dari ke Tanjung Karang.
Waktu itu, Ibu Fatmawati belum memakai nama Fatmawati. Semaun berbisik pada Chaerul bahwa Fatmawati akan mendampingi Bung Karno di Jakarta setelah berpisah dengan Ibu Inggit. Fatmawati masih berkerudung dan memakai pakaian ala Sumatera.
Chaerul tercatat pernah menjalani kehidupan militer dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal (Purn). Selain itu, ia pernah menjabat Sekjen Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi (Depnakertranskop) tahun 1966-1979 dan sebagai Ketua Bidang Sosial Budaya dan Kesejahteraan di Markas Besar Legiun Veteran RI.
Sementara itu, seperti juga Chaerul, Adel Sofyan masuk ke dunia militer, mulai dari BKR (Badan Keamanan rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat), sampai menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Karirnya di angkatan bersenjata tercatat sebagai Kepala Staf Resimen 6 Cikampek, Brigade Kiansantang, Divisi Siliwangi. Namun, konflik internal yang terjadi di tubuh angkatan bersenjata pada tahun 1946 sempat mengakibatkan pertumpahan darah.
Adel Sofyan beserta Komandan Resimen VI, Letkol Soeroto Kunto, hilang diculik pada November 1946, dan tidak pernah diketahui lagi nasibnya. Kecurigaan kuat, penculikan dilakukan oleh pihak Laskar Rakyat. Hal ini berbuntut panjang. Pada tahun 1947, tentara pemerintah menumpas Laskar Rakyat di Karawang.***
Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978,
(Baca kisah-dua-carik-kain-merah-dan-putih.html)
Semenjak berusia delapan tahun, Chaerul memang seorang pengagum Bung Karno. Kebetulan ia indekos bersama sekumpulan murid MULO (SMP) di Bukittinggi yang sedang keranjingan gerakan kebangsaan. Mereka mendiskusikan perjuangan kebangsaan, termasuk perjuangan Soekarno, dan setiap malam menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum tidur. Chaerul memang masih kecil, tapi obrolan anak-anak MULO itu telah membuatnya seolah kenal dengan Soekarno.
Setelah sekolah AMS (SMA) di Jakarta, seorang temannya yang bernama Abdullah Hassan (sekarang dokter tentara) selalu menyediakan buku-buku mengenai pergerakan kebangsaan. Abdullah mendapatkan buku-buku itu dari pamannya, Husni Thamrin, seorang pemimpin nasionalis Betawi, yang waktu itu tinggal di Sawah Besar. Karena dekat dengan pergerakan kemerdekaan, tak heran Chaerul kenal dengan Shimizu, pejabat Jepang yang menjadi pemimpin barisan propaganda Jepang (Gerakan Tiga A).
Pada tahun 1943, karena gerakan propaganda kurang mendapat sambutan, akhirnya Jepang membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menggerakkan potensi rakyat Indonesia (untuk membantu Jepang dalam perang Asia Timur). Kepulangan Bung Karno dari pengasingan di Sumatera pun dipermudah. Bung Karno kembali ke Jakarta dan mendarat di Pasar Ikan.
Perundingan kerjasama antara Jepang dan Soekarno-Hatta pun dimulai. Namun, konsep Jepang dan Soekarno-Hatta sama sekali berbeda. Akhirnya, disetujuilah pendirian pusat mobilisasi rakyat yang akan dipimpin “Empat Serangkai” dimotori Bung Karno dan Bung Hatta. Gerakan itu bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), yang berkantor di gedung bekas sekolah MULO, di Jalan Sunda.
Begitu persetujuan hampir mendekati realisasi, Jepang ingin menyediakan sebuah rumah dan mobil untuk Bung Karno. Mobil bekas Belanda memang banyak menumpuk di Gunseikanbu (Kantor Pertamina sekarang) dan untuk Bung Karno diberikan sebuah mobil Buick plus seorang sopir. Lalu, bagaimana dengan rumah untuk Bung Karno?
Pada suatu hari, Bung Karno datang ke Gunseikanbu bertemu Shimizu. Entah apa yang mereka bicarakan, tiba-tiba Chaerul Basri dipanggil Shimizu ke ruangannya. Bung Karno sedang duduk di belakang meja, sedang Shimizu mondar-mandir di depan Bung Karno. Ini adalah kebiasaannya. Ia tidak dapat duduk tenang di suatu tempat, tetapi selalu berjalan mondar-mandir kalau sedang berbicara.
Seingat Chaerul, Bung Karno waktu itu berpakaian mirip safari yang terbuat dari bahan yang waktu itu dikenal dengan nama merek kulit kayu. Shimizu memperkenalkan Chaerul pada Bung Karno. Memang, sebelumnya Chaerul sudah beberapa kali bertemu dengan Bung Karno, tetapi tidak bersifat resmi. Di kantor Shimizu itulah ia baru benar-benar berkenalan dengan Bung Karno.
“Pemuda", itulah panggilan Shimizu pada Chaerul, "bisakah cari rumah buat orang besar?" Yang dimaksud orang besar itu adalah Bung Karno. Sedangkan Shimizu sendiri menyebut dirinya: "saya jongos" atau "saya pelayan". Bung Karno sendiri tersenyum mendengar Shimizu berbicara.
Pada waktu itu Chaerul menjawab "bisa", karena ia kebetulan tahu banyak rumah yang baik, representatif, dan besar di daerah Menteng. Daerah Menteng dikenalnya karena waktu itu ia tinggal di Jalan Jawa No 112 (kini Jalan HOS Tjokroaminoto).
Pada saat saya hendak meninggalkan ruangan, tiba-tiba Bung Karno berkata, “Chaerul, kamu mengerti rumah macam apa yang aku inginkan.”
“Mengerti Bung, akan saya carikan rumah yang besar, mewah, dan cukup representatif,” jawab Chaerul.
Bung Karno tersenyum dan berkata lagi, ''Bukan, bukan itu yang saya maksud. Saya butuh rumah yang pekarangannya luas agar saya bisa menerima rakyat banyak!"
Chaerul terdiam dan tertegun. Pikirannya melayang ke mana-mana, karena baru sekali ini ia mendengar ucapan dari seseorang yang mengaitkan tempat kediamannya dengan rakyat banyak.
Chaerul telah beberapa kali mencarikan rumah untuk pemimpin-pemimpin lainnya dengan syarat yang sama: rumah yang representatif, besar, mewah, dan berada di jalan yang terkemuka. Persyaratan itu telah baku, tapi tidak buat Bung Karno. Dengan penuh pemikiran tentang persyaratan yang diajukan Bung Karno, Chaerul meninggalkan ruangan itu.
Hal ini diceritakan Chaerul pada Adel Sofyan, teman sekerjanya. Sore harinya, dengan berboncengan sepeda mereka berkeliling daerah Menteng. Ada rumah-rumah besar dan luas di sekitar Taman Suropati, tetapi semuanya telah ditempati pembesar Jepang. Akhirnya, mereka tiba di Jalan Pegangsaan Timur (Jalan Proklamasi sekarang), terlihat sebuah rumah yang cukup luas pekarangannya.
Rumah itu sederhana. Barangkali lebih cocok dikatakan seperti sebuah rumah yang terletak di tengah perkebunan. Serambi depan rumah itu terbuka, halamannya yang luas ditumbuhi pohon-pohon. Mereak berdiri di depan rumah, dan berkeliling memeriksanya dari samping. Akhirnya Chaerul berkata pada Adel bahwa mungkin rumah ini cocok dengan selera Bung Karno.
Esoknya, mereka melaporkan hasil penjajakan. Shimizu langsung menelepon Bung Karno. Terjadilah tanya jawab antara Shimizu dan Bung Karno mengenai rumah itu. Karena Shimizu tidak dapat menjelaskannya dalam bahasa Indonesia, maka ia menyerahkan telepon, dan Chaerul menceritakan tentang rumah itu. Ternyata, Bung Karno pernah lewat di depan rumah itu, dan juga tertarik. Alangkah gembiranya Chaerul.
Shimizu lalu menyuruh Chaerul untuk mengosongkan rumah tersebut. Sorenya, Chaerul dan Adel balik lagi ke rumah itu untuk berunding dengan pemilik rumah. Di sana mereka hanya diterima nyonya rumah (yang masih muda) dan anaknya yang berumur empat tahun, karena tuannya beberapa hari yang lalu diasingkan oleh Jepang.
Chaerul dan Adel menjelaskan maksud mereka dalam bahasa Belanda, dan menawarkan rumah lain yang lebih layak, walau tidak berhalaman luas. Serta-merta sang nyonya marah-marah dan mengatakan tidak akan keluar dari rumah itu apa pun yang terjadi. Mereka tidak melayani, karena maklum dengan kondisi kejiwaan sang nyonya: suami baru diasingkan, lalu rumah kesayangan mau diambil.
Saat melapor pada Shimizu, Chaerul mengusulkan agar pemindahan nyonya itu dilakukan melalui pemerintah, dan nyonya tersebut diberi ganti rugi rumah yang layak. Seminggu kemudian rumah itu berhasil dikosongkan, dan sang nyonya dipindahkan ke sebuah rumah bertingkat di Jalan Lembang. Semenjak itu, mulailah Bung Karno dan Ibu Fatmawati menempati rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu sebagai kediaman resmi.
Setelah berhasil mendapatkan rumah itu, hubungan Chaerul dengan Bung Karno dan Ibu Fatmawati menjadi semakin dekat. Chaerul kenal dengan Ibu Fatmawati pertama kali di atas feri yang membawanya dari Tanjung Karang menuju Merak. Perkenalan itu atas jasa sahabatnya, Semaun Bakri, yang ditugaskan Bung Karno untuk menjemput Ibu Fatmawati dari ke Tanjung Karang.
Waktu itu, Ibu Fatmawati belum memakai nama Fatmawati. Semaun berbisik pada Chaerul bahwa Fatmawati akan mendampingi Bung Karno di Jakarta setelah berpisah dengan Ibu Inggit. Fatmawati masih berkerudung dan memakai pakaian ala Sumatera.
Chaerul tercatat pernah menjalani kehidupan militer dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal (Purn). Selain itu, ia pernah menjabat Sekjen Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi (Depnakertranskop) tahun 1966-1979 dan sebagai Ketua Bidang Sosial Budaya dan Kesejahteraan di Markas Besar Legiun Veteran RI.
Sementara itu, seperti juga Chaerul, Adel Sofyan masuk ke dunia militer, mulai dari BKR (Badan Keamanan rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat), sampai menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia). Karirnya di angkatan bersenjata tercatat sebagai Kepala Staf Resimen 6 Cikampek, Brigade Kiansantang, Divisi Siliwangi. Namun, konflik internal yang terjadi di tubuh angkatan bersenjata pada tahun 1946 sempat mengakibatkan pertumpahan darah.
Adel Sofyan beserta Komandan Resimen VI, Letkol Soeroto Kunto, hilang diculik pada November 1946, dan tidak pernah diketahui lagi nasibnya. Kecurigaan kuat, penculikan dilakukan oleh pihak Laskar Rakyat. Hal ini berbuntut panjang. Pada tahun 1947, tentara pemerintah menumpas Laskar Rakyat di Karawang.***
Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978,
Kisah Dua Carik Kain Merah dan Putih
Tak banyak cerita yang selama ini terungkap tentang bendera pusaka. Sebagian besar orang bilang kalau bendera berukuran 2x3 meter itu dijahit dengan tangan oleh Ibu Fatmawati. Tapi, dalam sebuah pameran foto yang diselenggarakan oleh keluarga Bung Karno, diperlihatkan kalau Ibu Fat menjahit bendera itu dengan sebuah mesin jahit.
Entah mana yang benar, yang pasti bendera hasil jahitan Ibu Fat itulah yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Cerita tentang sebelum bendera itu dijahit, hampir tidak pernah diketahui orang.
Tetapi nanti dulu… Ini ada kisah dari penuturan pelakunya sendiri tentang dari mana Ibu Fat mendapatkan kain untuk membuat bendera pusaka.
Pada 1944, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih sudah diizinkan untuk dikibarkan dan lagu Indonesia Raya boleh dikumandangkan di seluruh Nusantara. Ibu Fat, istri Bung Karno “Sang Proklamator”, termasuk orang yang bingung karena tidak punya bendera untuk dikibarkan di depan rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, bila nanti kemerdekaan diproklamasikan.
Membayangkannya memang sulit. Saat sebagian rakyat Indonesia tak punya pakaian dan memakai kain karung, Ibu Fat perlu kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Kain saat itu adalah barang langka, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih dikuasai Jepang. Kalaupun ada di black market (pasar gelap), untuk mendapatkannya harus diam-diam.
Ibu Fat kemudian memanggil seorang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda dimintanya untuk menemui pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu (masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004) adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan Tiga A.
Shimizu yang politikus, tidak seperti orang Jepang lainnya yang selalu bertindak kasar atas dasar hubungan kekuasaan. Shimizu rajin mendengarkan unek-unek, pikiran dan pendirian pihak Indonesia. Karena itu, ia lebih dianggap ”teman” oleh dan mudah diterima di berbagai kalangan, apalagi dengan kemampuan bahasa Indonesianya yang lumayan, meski masih terpatah-patah.
Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fat diperoleh melalui pertolongan pembesar Jepang lain yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol. Cerita itu terasa amat sepele dan tak pernah diingat-ingat oleh Chaerul maupun Shimizu.
Tahun 1977, Shimizu berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fat menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkan pertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang sekarang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu.
Kenyataan ini begitu membanggakan buat Chaerul maupun Shimizu, yang tak menyangka bila apa yang mereka lakukan begitu besar artinya untuk bangsa Indonesia sampai saat ini.
Entah mana yang benar, yang pasti bendera hasil jahitan Ibu Fat itulah yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Cerita tentang sebelum bendera itu dijahit, hampir tidak pernah diketahui orang.
Tetapi nanti dulu… Ini ada kisah dari penuturan pelakunya sendiri tentang dari mana Ibu Fat mendapatkan kain untuk membuat bendera pusaka.
Pada 1944, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih sudah diizinkan untuk dikibarkan dan lagu Indonesia Raya boleh dikumandangkan di seluruh Nusantara. Ibu Fat, istri Bung Karno “Sang Proklamator”, termasuk orang yang bingung karena tidak punya bendera untuk dikibarkan di depan rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, bila nanti kemerdekaan diproklamasikan.
Membayangkannya memang sulit. Saat sebagian rakyat Indonesia tak punya pakaian dan memakai kain karung, Ibu Fat perlu kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Kain saat itu adalah barang langka, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih dikuasai Jepang. Kalaupun ada di black market (pasar gelap), untuk mendapatkannya harus diam-diam.
Ibu Fat kemudian memanggil seorang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda dimintanya untuk menemui pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu (masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004) adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan Tiga A.
Shimizu yang politikus, tidak seperti orang Jepang lainnya yang selalu bertindak kasar atas dasar hubungan kekuasaan. Shimizu rajin mendengarkan unek-unek, pikiran dan pendirian pihak Indonesia. Karena itu, ia lebih dianggap ”teman” oleh dan mudah diterima di berbagai kalangan, apalagi dengan kemampuan bahasa Indonesianya yang lumayan, meski masih terpatah-patah.
Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fat diperoleh melalui pertolongan pembesar Jepang lain yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol. Cerita itu terasa amat sepele dan tak pernah diingat-ingat oleh Chaerul maupun Shimizu.
Tahun 1977, Shimizu berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fat menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkan pertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang sekarang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu.
Kenyataan ini begitu membanggakan buat Chaerul maupun Shimizu, yang tak menyangka bila apa yang mereka lakukan begitu besar artinya untuk bangsa Indonesia sampai saat ini.
Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978
Dicari: Orang Ketiga !
Suatu kali, pada tahun 1993, saya dan beberapa teman Paskibraka 1978, pernah bertanya kepada Kak Husein Mutahar: ”Apakah pada saat mencetuskan gagasan Paskibraka tahun 1946, Kakak pernah berpikir nantinya akan ada ribuan alumni dan mereka akan dijadikan apa?”
Kak Mut mendadak sontak kaget dan menjawab, ”Tidak, tidak pernah. Saya hanya berpikir bahwa kalianlah para pemuda yang akan menjadi penerus bangsa. Kalian adalah simbol manusia masa depan yang pantas diberi tanggung jawab itu. Kalau sekarang kalian merasa menjadi korban impian saya karena tidak mendapat tempat yang semestinya, itu semua salah saya. Saya pantas merasa bersalah.”
Kak Mutahar sebenarnya tak perlu merasa bersalah, karena melahirkan gagasan cemerlang Paskibraka saja sudah lebih dari cukup pada saat itu. Tugas orang-orang sesudahnyalah untuk meneruskan gagasan itu menjadi sebuah kerja pembinaan yang berkesinambungan.
Tahun 1973, apa yang tak terpikirkan Kak Mut itu direspon dengan sigap oleh seorang ”adiknya” dari Kepanduan (Pramuka), yaitu Kak Idik Sulaeman.
Tahun 1973, apa yang tak terpikirkan Kak Mut itu direspon dengan sigap oleh seorang ”adiknya” dari Kepanduan (Pramuka), yaitu Kak Idik Sulaeman.
Kak Idik yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pengembangan & Latihan di Departeman P&K terdorong untuk menyempurnakan konsep pelatihan yang disusun Kak Mut saat menjabat Dirjen Udaka (Urusan Pemuda dan Pramuka) Departemen P&K tahun 1966-1968. Maklum, Idik memang salah satu orang dekat yang selalu berada di sisi Kak Mut sejak kelahiran Pasukan Penggerek Bendera Pusaka pada tahun 1968.
Idik lalu menyusun sebuah konsep lengkap Pelatihan Paskibraka dari yang sebelumnya telah diujicobakan pada 1966-1967 dan terus digunakan sampai 1972, yakni ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila”. Bukan itu saja, ia pun merancang hampir seluruh perangkat pelatihan itu: mulai dari menciptakan nama baru Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), pakaian seragam, sampai lambang korps Paskibraka, lambang anggota Paskibraka dan atribut-atribut tanda Pengukuhan.
Suatu saat, saya pernah pula memuji Kak Idik bahwa ”konsep kedua” dari Paskibraka yang dilahirkannya berkesan amat dalam bagi setiap anggota Paskibraka. Kak Idik tersenyum dan hanya menjawab singkat, ”It’s just a game!”
Kak Idik benar. ”Latihan Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila” hanyalah sebuah ”permainan”. Sebuah simulasi yang memberikan kesempatan pada setiap orang yang diajak bermain untuk menemukan sendiri siapa dirinya, apa perannya dan apa yang pantas dilakukannya untuk bangsa dan negaranya.
Permainan kecil itu kelak menjelma menjadi sebuah permainan lain dengan pertaruhan sangat besar ketika para Purna Paskibraka memasuki arena yang sesungguhnya di kehidupan. Ada yang mampu melewatinya dengan memanfaatkan simulasi yang pernah dijalaninya sehingga berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya dan diharapkan para pembinanya. Namun, ada pula yang melupakannya dan hanyut dengan ”permainan” lain. Mereka inilah orang-orang yang kehilangan jiwa Paskibraka.
Tak ada yang perlu disesali, karena konsep pembinaan Paskibraka memang diarahkan untuk menciptakan individu-individu yang baik. Setelah itu, terserah dia sendiri: apakah mau menjadikan dirinya baik (sehingga keluarganya baik, kelompoknya baik, masyarakatnya baik dan bangsanya baik), atau sebaliknya. ”It’s just a game!”
***
Dalam perjalanan sejarah Paskibraka, dua nama —Husein Mutahar dan Idik Sulaeman— telah menjadi tonggak utama dalam hal konsep. Sosok lainnya, tercatat menjabarkan konsep besar itu dalam aplikasinya, semisal Kak Dharminto Surapati yang sangat ahli di lapangan dan tatacara penghormatan terhadap bendera, atau Kak Soebedjo dan Bunda Boenakim yang begitu berwibawa dan anggunnya di asrama.
Munculnya gagasan Kak Mutahar tentang Paskibraka (1946), sampai penciptaan secara utuh wujud Paskibraka dari Kak Idik (1973), membutuhkan rentang waktu 27 tahun. Dengan menggunakan statistik deret hitung sederhana, 27 tahun kemudian yakni pada tahun 2000, seharusnya telah muncul sebuah konsep baru yang merupakan lanjutan dari dua konsep yang telah ada.
Pertanyaan untuk itu tentu sesederhana pertanyaan saya pada Kak Mutahar di awal tadi: ”Mau dikemanakan ribuan Purna Paskibraka yang sudah ada?” atau ”Apa yang harus dikerjakan oleh ribuan Purna Paskibraka yang kini ada?”
Waktu tenggat atau deadline memang telah terlewati. Bukan sebentar, tapi 8 tahun, saat Paskibraka telah melewati ulang tahunnya yang ke-40 pada Agustus 2008. Sementara itu, para Purna Paskibraka masih tetap menjadi ”tulang-tulang yang berserakan”, bukan sebuah ”rangka” yang kokoh untuk berdiri saling menopang dan menghasilkan sesuatu yang lebih berarti bagi sesamanya.
Secara sporadis, memang banyak komunitas Paskibraka berbasis kedaerahan yang melakukan berbagai aktivitas. Namun, hampir seluruhnya hanya sebatas menjadi pelaksana pada saat kegiatan persiapan pengibaran bendera menjelang 17 Agustus. Lebih dari itu, nyaris tidak ada.
Organisasi yang menyebut diri sebagai wadah resmi alumni Paskibraka yakni Purna Paskibraka Indonesia (PPI), pun belum terlihat mempunyai visi dan misi jauh ke depan untuk mengisi kekosongan itu. Program kerja organisasi ini masih sangat “jangka pendek”, lima-tahunan saja, atau sebatas umur kepengurusan. Lebih dari itu, urusan pengurus berikutnya. Soal masa depan Paskibraka, kapan-kapan saja dipikirkan.
Untuk itulah, mungkin saat ini dibutuhkan ”orang ketiga” dengan kualifikasi sekaliber Husain Mutahar dan Idik Sulaeman. Orang yang mampu menciptakan konsep lanjutan pembinaan dan pemberdayaan Purna Paskibraka. Atau kalau orang tersebut tidak ada, bolehlah digantikan dengan sekelompok Purna Paskibraka yang bersama-sama menghasilkan sebuah pemikiran baru yang segar dan berguna. Boleh siapa saja, tepuk dada tanya selera, dan silakan acungkan tangan sekarang juga!
Ditulis oleh: © Syaiful Azram, Paskibraka 1978
Saturday, January 3, 2009
Selamat Datang di Forum Paskibraka
Salam Paskibraka!!
Blog ini sengaja saya buat untuk wadah tempat bertemunya kakak-kakak dan adik-adik Purna Paskibraka, yakni orang-orang yang sangat saya hormati dan sayangi. Ribuan, bahkan katanya ada jutaan orang, yang merasa dirinya bagian dari korps Paskibraka, yang sampai kini merasa belum terwadahi aspirasinya.
Saya membuat blog ini bukan untuk menyaingi blog-blog yang ada, apakah itu blog resmi milik pengurus Purna Paskibraka Indonesia (PPI), Nasional maupun daerah. Saya hanya seorang Paskibraka yang "ingin berbagi" dengan sesamanya. Selama ini, saya lebih banyak menyalurkan suara hati saya di Bulletin Paskibraka 1978 milik korps tercinta, angkatan saya, Paskibraka Nasional 1978.
Namun, karena peredarannya sangat terbatas, saya coba menduplikasi bulletin itu dalam format blog dan di sinilah saya ingin menyampaikan gagasan-gagasan saya. Mudah-mudahan, keberadaan blog ini bisa diterima. Respon dari kalian semua selalu saya nantikan. Siapa tahu, komentar dan tanggapan-tanggapan itu nantinya beberi inspirasi baru bagi saya untuk memberikan masukan bagi kebaikan korps kita di masa datang.
Wasalam,
Syaiful Azram
Paskibraka nasional 1978
Blog ini sengaja saya buat untuk wadah tempat bertemunya kakak-kakak dan adik-adik Purna Paskibraka, yakni orang-orang yang sangat saya hormati dan sayangi. Ribuan, bahkan katanya ada jutaan orang, yang merasa dirinya bagian dari korps Paskibraka, yang sampai kini merasa belum terwadahi aspirasinya.
Saya membuat blog ini bukan untuk menyaingi blog-blog yang ada, apakah itu blog resmi milik pengurus Purna Paskibraka Indonesia (PPI), Nasional maupun daerah. Saya hanya seorang Paskibraka yang "ingin berbagi" dengan sesamanya. Selama ini, saya lebih banyak menyalurkan suara hati saya di Bulletin Paskibraka 1978 milik korps tercinta, angkatan saya, Paskibraka Nasional 1978.
Namun, karena peredarannya sangat terbatas, saya coba menduplikasi bulletin itu dalam format blog dan di sinilah saya ingin menyampaikan gagasan-gagasan saya. Mudah-mudahan, keberadaan blog ini bisa diterima. Respon dari kalian semua selalu saya nantikan. Siapa tahu, komentar dan tanggapan-tanggapan itu nantinya beberi inspirasi baru bagi saya untuk memberikan masukan bagi kebaikan korps kita di masa datang.
Wasalam,
Syaiful Azram
Paskibraka nasional 1978
Subscribe to:
Posts (Atom)